Sabtu, 11 Juni 2011

C1A1 08 135


II. Pembahasan

Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka  terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).

Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.  Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.

Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. 
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. 

Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra :19).
Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni (Putra:22)
o     Pendekatan Sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output.
o     Pendekatan Sumber (system resource approach), melihat dari inputnya
o     Pendekatan Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi. Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan  bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil (Rozi:10). Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istiah Aparatur Pemerintah.

Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya  dan diberi mandat oleh negara  dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz:203).

Birokrasi  dalam pengertian keseharian selalu dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112). Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah  bisa menjelaskan  orientasi birokrasi.

Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi:127).

Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat  nyaris dalam situasi yang tidak berdaya  (powerless) dan tidak memiliki pilihan ( Tjokrowinoto:33). Dengan kondisi yang demikian itulah maka  penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi  pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme. Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. 

Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku / etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang  bertentangan dengan moral dan etika.

Dimensi etika berkaitan dengan  skill based issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan tugas penyelenggaraan negara.  Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.

Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif ( Milwan : 5), pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa yang buruk. Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara.
Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia, tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir birokrasi harus dilakukan.

Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi.
Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service).  Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas  untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik yang bebas dari intervensi kekuatan politik.
Untuk melaksanakan konsep etika sebagaimana tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana dikutip oleh Sugiyanto (2004: 30) melakukan strategi sebagai berikut:
1.     Membangun iklim etika dalam organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan pentingnya membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan (strong leadership) dalam menciptakan iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu yang bernilai dan mendorong upaya ke arah penciptaan  komunikasi yang terbuka. Karena bagaimanapun terlebih di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya.  Mengelola etika bukan sekedar membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang berkarakter moral tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama untuk membangun budaya  yang menjadikan nilai yang tinggi akan integritas etika, mengembangkan kebijakan, prosedur serta sistem yang memungkinkan anggotanya mempunyai integritas etika.
2.     Mengembangkan Ethics Audit,  yakni suatu metode untuk menilai standar moral yang  dijadikan pedoman perilaku dalam organisasi dan termasuk penilaian untuk mereview aktivitas orang-orang dalam organisasi.
3.     Mengembangkan training program etika pemerintahan, dengan harapan dapat menjamin  sosialisasi dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah membangkitkan semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan berperilaku melalui komunikasi.
4.     Mengembangkan  standar berperilaku yang membatasi tindakan aparat publik, dengan cara meregulasi standar-standar perilaku yang telah menjadi prioritas dalam mengelaborasi nilai-nilai dasar moral.
5.     Menjamin   integritas etika dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang menjamin transparansi dan integritas etika, rekrutmen  dan promosi berdasarkan meryt system dan pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang transparan yang dapat meminimalisir konflik.
6.     Mengambil tindakan tegas  terhadap bentuk-bentuk penyelewengan.
Dengan demikian maka dimensi etika dalam pemerintahan harus dipahami secara jelas dan benar bahwa etika  adalah disiplin ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan bagaimana prinsip-prinsip moral tersebut dapat diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan sekedar formulasi norma-norma  yang akan disepakati bersama akan tetapi juga berbicara mengenai strategi aplikasi dan pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan etika sesuatu yang dinamis dan realistik.

OPINI
Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya  dan diberi mandat oleh negara  dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah  bisa menjelaskan  orientasi birokrasi.

Jumat, 03 Juni 2011

pengelolaan administrasi dokumen perkantoran berbasis teknologi informasi

1. PENDAHULUAN
1.1. Kebutuhan Sistem
Administrasi dalam kegiatan operasional suatu organisasi selalu terkait dengan 2 hal, yaitu : legalitas dan effisiensi. Setiap kegiatan baik secara personal maupun organisasi perlu dituangkan dalam suatu dokumen dari mulai tahap rencana sampai dengan akhir kegiatan atau laporan. Dokumen-dokumen tersebut selain berfungsi sebagai sarana komunikasi antar personal, unit, ataupun organisasi juga berfungsi sebagai bukti formal kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan (aspek legalitas). Di sisi lain, pengelolaan dokumen seperti : surat, form, nota, atau memo dinas sering menjadi permasalahan yang cukup menyita waktu dan tenaga. Lalu lintas dokumen dapat berkembang menjadi sangat besar sehingga memerlukan suatu sistem pengagendaan, pendistribusian, dan pengarsipan yang juga semakin besar (aspek effisiensi).
Makin besar organisasi akan menyebabkan “bottleneck” serta alur birokrasi yang makin panjang sehingga proses dokumen akan menjadi makin lama. Untuk mengatasinya seringkali proses administrasi dokumen disederhanakan atau bahkan diabaikan. Akibatnya menimbulkan masalah dalam monitoring dan pencarian dokumen selain tentu saja mengurangi legalitas kegiatannya. Melihat permasalahan dalam pengelolaan dokumen di atas serta adanya perkembangan teknologi informasi, perlu dibangun suatu sistem komputerisasi terpadu untuk pengelolaan dokumen yang mencakup seluruh bagian dalam Organisasi.

1.2. Perumusan
Jenis dokumen yang paling umum dan memerlukan effort yang besar adalah surat. Biasanya dalam suatu Organisasi terdapat bagian khusus sebagai pusat pengelola dokumen atau surat yang berfungsi: menerima dokumen, mencatat dalam agenda, dan mendistribusikan ke seluruh bagian. Bagian khusus ini dapat disebut Tata Usaha, Sekretariat, Unit Administrasi Umum, atau dalam makalah ini disebut Pusat Distribusi. Tiap bagian atau Unit di dalam Organisasi perlu personal untuk mengagendakan dan meneruskan dokumen sesuai kewenangan masingmasing yang selanjutnya disebut Sekretariat.


Dalam gambar di atas, Pusat Distribusi adalah unit A.1. Setiap blok merupakan Unit tertentu (dalam gambar adalah unit B, unit B1, dll). Sebagai contoh, personal yang dituju oleh satu surat tertentu (disebut R) adalah seorang pejabat atau staf yang berada di suatu unit tertentu (dalam gambar adalah unit B.1.1). Setiap surat baik eksternal dari luar Organisasi (diterima oleh Pusat Distribusi) ataupun internal yang dikeluarkan oleh salah satu pejabat di dalam Organisasi (disebut S) akan diagendakan dan diteruskan ke R.
Pejabat yang menjadi atasan dari R perlu mengetahui tentang adanya surat dinas tersebut. Akibatnya sekretariat di unit-unit yang berada di atas B.1.1 (dalam gambar adalah unit B.1 dan unit B) perlu mengagendakan surat dinas tersebut. Demikian juga halnya pejabat atau staf yang menjadi atasan dari S perlu mengetahui tentang adanya surat dinas tersebut (dalam gambar adalah unit C.1 dan unit C). Seringkali memang pejabat atau staf yang menjadi atasan mendapatkan tembusan surat tersebut, tetapi seringkali juga hal ini tidak dilakukan.

2. RANCANGAN SISTEM
2.1. Aliran Proses
Seluruh personil yang terlibat dalam proses di atas, dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Pusat Distribusi : adalah staf yang bertugas menerima surat dari luar dan mendistribusikan ke unit atau bagian lainnya.
2. Sekretariat : adalah para staf yang bertugas mengagendakan dan meneruskannya ke unit atau personal yang dituju oleh surat tersebut. Termasuk di dalamnya adalah para Sekretaris Pimpinan.
3. Personal : adalah para pejabat atau staf yang dapat menerima atau mengeluarkan surat. Secara umum, aliran proses administrasi surat dalam suatu Organisasi baik besar maupun kecil dapat disederhanakan dengan menggunakan model seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.


Dalam model diatas, Sekretariat merupakan pusat aliran. Perpindahan dokumen terjadi antar Sekretariat termasuk proses Disposisi.


2.2. Kriteria
Sistem yang akan dibangun tentu saja didasarkan atas pengelolaan dokumen secara elektronik. Secara umum sistem harus mampu menangani semua permasalahan surat masuk dan keluar, baik yang bersifat eksternal maupun internal.
• Memudahkan seluruh staf administrasi dalam pengelolaan surat di seluruh bagian institusi sehingga menjamin tertib administrasi.
• Menyediakan akses secepatnya dari mana saja bagi semua pejabat dan staf yang akan mengirim ataupun merespon surat yang ditujukan padanya.
• Menyediakan sistem pengarsipan terpadu sehingga memudahkan penelusuran surat (tracking), dan monitoring.
• Memberikan fasilitas dalam pembuatan laporan pengelolaan surat.
Untuk itu maka dirancang sistem informasi untuk pengelolaan surat yang berbasis web dan mudah diakses, dengan menggunakan pengolahan database terpusat, penerapan keamanan hak akses, dan arsitektur three-tiered.

Web-Based
Setiap informasi dapat diakses dengan mudah baik melalui intranet untuk kalangan terbatas maupun internet untuk umum. Dengan basis seperti ini, pengguna tidak terbebani dengan keharusan untuk memiliki, memasang, mempelajari, dan menggunakan berbagai software untuk berbagai aplikasi tetapi hanya cukup membutuhkan 1 (satu) program web browser yang amat mudah penggunaannya dan biasanya telah tersedia.

Fleksibility
Berbagai jenis komputer pengguna dengan berbagai sistem operasi akan tetap dapat menggunakan sistem informasi tersebut.
Centrelized
Penggunaan Database Terpusat menjamin agar setiap pengguna memperoleh informasi yang sama, akurat, dan paling aktual sehingga akan mengurangi duplikasi data serta dapat langsung diproses lebih lanjut (waktu yang lebih singkat).
Authorized
Keamanan hak akses terhadap data yang vital dan non-publik, namun tetap memberikan kemudahan bagi pengguna yang punya kewenangan untuk mendapatkan atau mengolah data yang diperlukan.
Three-Tiered
Konsep arsitektur Three-Tiered memfasilitasi kemungkinan terjadinya perubahan aturan administrasi di organisasi tersebut. Sistem juga menerapkan prinsip client-server sehingga memungkinkan untuk perluasan sistem yang secara teoritis tidak terbatas, baik dalam ruang lingkup maupun jumlah data yang diolah. Selain hal-hal di atas, rancangan sistem harus mampu menerapkan prinsip dan aturan administrasi umum agar dapat digunakan secara optimal. Sistem harus pula mampu mengakomodir kemungkinan terjadinya masa transisi karena adanya perubahan budaya kerja dalam organisasi. Sistem administrasi berbasis elektronik yang akan diterapkan tetap dapat bersinergi dengan sistem konvensional yang berbasis dokumen tertulis.
Berbagai dukungan infrastruktur dan sumber daya manusia yang berbeda-beda untuk tiap organisasi baik untuk kondisi saat ini maupun perkembangan oragnisasi di masa datang, juga menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam rancangan sistem. Dengan kata lain, implementasi sistem nantinya harus dapat memberikan manfaat yang optimal bagi organisasi walaupun dioperasikan pada infrastruktur dan kemampuan SDM yang minimum ataupun maksimum.

2.3. Fungsi
Sistem dirancang untuk memiliki fungsi utama sebagai sarana pendistribusian data surat yang telah dicatat dan penelusuran jejak tiap surat sehingga pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan surat tersebut dapat mengetahui secara cepat data tiap surat. Secara teknis, fungsi sistem adalah sbb :
Integrated
Keseluruhan fungsi dikelola menggunakan konsep jaringan informasi terpadu dan terhubung keseluruh unit Institusi.
Paperless
Pendistribusian surat secara elektronik sehingga menjadi cepat dan hemat kertas.


User Management
Pengaturan hak akses baik bagi pengguna perorangan maupun grup dapat dilakukan di tiap unit masing-masing.
Access Log
Pencatatan setiap akses yang dilakukan pengguna sehingga memudahkan pemantauan sistem
Query & Report
Permintaan data (query) spesifik dan pembuatan laporan ataupun statistik
Online Office to Office
Interaksi antar sesama kantor/institusi yang juga menggunakan sistem serupa dapat dilakukan online melalui jaringan internet Target pengguna sistem dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Staf Administratif di Pusat Distribusi
2. Eksekutif Pengelola Administrasi Surat
3. Staf kesekretariatan di tiap unit
4. Pengguna (setiap personal pejabat atau staf yang dapat mengirim atau menerima surat).
Selain pengguna rutin di atas diperlukan kelompok personal lainnya untuk mendukung operasional sistem, yaitu :
5. Administrator sistem aplikasi
6. Office Manager
7. Pengelola sistem server
8. Network Administrator
Jika diperlukan oleh organisasi ybs, maka dapat dimungkinkan untuk memberikan akses kepada pihak lain di luar organisasi baik secara terbatas maupun untuk masyarakat umum.

3. PENUTUP
Inti dari rancangan sistem informasi yang dibahas di atas adalah sebuah sistem perangkat lunak aplikasi (Application Software). Namun demikian untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi organisasi pengguna, maka pertimbangan aspek layanan atau service pendukung perlu dikaji lebih mendalam. Layanan akses melalui email ataupun SMS bagi pengguna perlu mendapat perhatian lebih karena layanan jenis tersebut sudah sangat familiar dan luas penggunaannya di masyarakat. Hal ini akan memberikan implikasi terhadap infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung layanan tersebut. Layanan terkait lainnya akan diperlukan untuk memberikan kemampuan ”on-line” antar organisasi yang telah menggunakan sistem informasi ini. Pertimbangan aspek teknis dan non-teknis dalam hubungan antar organisasi harus menjadi kriteria yang menentukan. Aspek teknologi terkait lainnya yang juga perlu dipertimbangkan adalah keamanan sistem informasi dan dokumen elektronik itu sendiri seperti : Digital Signature, Watermark, dll.

4. REFERENSI

Jogiyanto HM, "Sistem Teknologi Informasi", Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003.
Ariesto Hadi Sutopo, "Analisis dan Desain Berorientasi Objek", Penerbit J & J Learning,
Yogyakarta, 2002.

cinta

 lagu bram- makna cinta